Laporan Kontributor TribunJabar.id Sumedang, Kiki Andriana
the peoples, SUMEDANG– Langkah Valentina Rosa Panjaitan (18) perlahan, namun pasti.
Sambil memegang tas kanvas yang berisi keranjang moci, ia mengetuk pintu-pintu di area Kantor Kecamatan Jatinangor.
Dia menjajakan moci itu.
Pada hari Selasa (30/9/2025) sore, dia sedang beristirahat setelah menyelesaikan tugas Praktik Kerja Lapangan (PKL) di kantor tersebut.
Saat itu dia memanfaatkannya untuk bertemu dengan pegawai kantor yang berpakaian seragam PNS. Mungkin mereka bersedia membeli moci.
Hasil tidak mengecewakan usaha. Masih ada orang yang membeli produknya.
Makanan ringan tersebut memiliki harga Rp2.500. Dari sana, Valentina memperoleh keuntungan sebesar Rp500.
Uang hasil keuntungan tersebut ia simpan, atau ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan jajan dan biaya sekolah.
Orang tua mereka hanya merupakan orang-orang biasa. Keuntungan uang tersebut, terkadang juga diberikan kepada kedua adiknya sebagai tambahan untuk jajan.
“Jika bukan sedang PKL, setiap hari juga membawa moci jualan ke sekolah,” kata siswi SMK Sukasari itu.
Moci yang dijualnya dibuat oleh tetangganya sendiri.
Sehari, paling sedikit 15 kemasan moci laku terjual.
Jika selesai, Valentina akan menyetor uang setelah mengambil keuntungan yang menjadi haknya.
“Sekarang saya duduk di kelas 3, penjualan dimulai dari kelas 1 (SMK),” katanya.
Kebiasaan berdagang ini, diperoleh Valentina dari ibunya yang juga melakukan penjualan keliling di sekitar tempat tinggalnya di Kampung Asir Kuya, Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor.
Sementara ayahnya, masih bekerja paruh waktu.
Melalui pekerjaannya yang kedua, terkadang Valentina mendapatkan bekal sekolah, dan terkadang tidak.
Terkadang memberi bekal jajan, terkadang tidak. Jika pergi ke sekolah, saya biasanya naik kendaraan teman. Untuk biaya sekolah, ditanggung secara gratis melalui Program Indonesia Pintar (PIP), kata dia.
Namun, niatnya berdagang agar bisa sedikit menyisihkan uang untuk mewujudkan impiannya menjadi dokter, Valentina ternyata tidak mampu menabung.
Penghasilan sekitar Rp7500 per hari habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Tidak memiliki tabungan, terus digunakan. Saya memiliki tiga bersaudara, saya memiliki dua adik,” katanya.
Sementara teman sebaya mereka menghabiskan waktu dengan bermain atau berkencan, ia memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Ia lebih memilih mencari penghasilan guna membantu orang tuanya.
“Tidak sedang pacaran, ingin fokus terlebih dahulu pada sekolah,” ujar siswi jurusan akuntansi itu.
Namun, kenyataan dalam kehidupan pernah menyebabkannya sedih.
Uang dari hasil penjualan moci yang seharusnya diberikan kepada pemilik moci, yakni tetangganya sendiri, menghilang.
“Pernah barang yang terjual hilang, harus memberi ganti rugi,” katanya.