Penerbitan Obligasi Berkelanjutan Pasar Berkembang Naik, Indonesia Justru Turun

the peoples, JAKARTA — Penerbitan surat utang berkelanjutan (sustainable debt) di pasar-pasar yang sedang berkembang atauemerging markets(EM) terus menunjukkan peningkatan volume. Kontribusi wilayah ini terhadap total penerbitan mencapai 18% dengan angka mencapai 310,49 miliar dolar AS.

Analis ESG Bloomberg Grace Osborne dalam catatannya memprediksi jatuh tempo pada surat utang berkelanjutan di pasar negara berkembang akan mendorong gelombang pembiayaan ulang (refinancing).

“Lebih dari 30% dari nilai obligasi berkelanjutan yang masih berlaku akan jatuh tempo pada akhir 2026,” tulis Osborne, dikutip Kamis (2/10/2025).

Di antara pasar-pasar yang sedang berkembang, Tiongkok hingga saat ini menjadi yang terdepan dalam penerbitan surat utang berkelanjutan dengan angka mencapai 123,17 miliar dolar AS, mendekati total nilai yang diterbitkan sepanjang tahun 2024 sebesar 128,39 miliar dolar AS.

Secara keseluruhan, penerbitan surat utang berkelanjutan di kawasan Asia Pasifik mendominasi wilayah lainnya. Fokus pada investasi energi bersih terlihat dalam penawaran surat utang berkelanjutan Asia Pasifik pada 2025, seperti yang terjadi sebelumnya.

Korea Selatan dan Taiwan mengikuti posisi Tiongkok sebagai negara dengan penerbitan surat utang hijau terbesar, masing-masing mencapai angka US$38,21 miliar dan US$20,32 miliar hingga Agustus 2025. Turki serta India juga melaporkan penerbitan surat utang hijau dalam angka dua digit, yaitu sebesar US$15,49 miliar dan US$10,98 miliar. Sementara itu, Indonesia hanya menerbitkan surat utang hijau senilai US$3,36 miliar pada Agustus 2025, mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun 2024 yang mencapai US$7,26 miliar.

Anomali terlihat dari kawasan Amerika Latin yang tahun ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi iklim PBB COP30. Strategis ESG dari Bloomberg Intelligence, Chris Ratti, mencatat bahwa penawaran surat utang berkelanjutan dari Amerika Latin turun 61% pada Agustus 2025, dibandingkan dengan periode 12 bulan sebelumnya.

Sementara penawaran dari Brasil, tuan rumah COP30, mengalami penurunan sebesar 48% dari US$11,89 miliar pada tahun 2024 menjadi US$6,02 miliar.

“Penurunan ini mengejutkan mengingat Amerika Latin adalah wilayah dengan risiko bencana terbesar kedua di dunia. Setidaknya terdapat lebih dari 2.300 peristiwa bencana alam antara tahun 2000 hingga 2024. Penurunan penawaran dari pemerintah menjadi faktor yang menyebabkan tren ini,” tulis Ratti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *