Dokter Tan Shot Yen: MBG Harus Perkenalkan Pangan Lokal, Bukan Makanan UPF dari Produk Lokal

the peoples– Dokter dan ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen mengkritik surat perintah dari Badan Gizi Nasional (BGN) mengenai penggunaan produk seperti kue kering, nugget, hingga burger lokal dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG).

Di unggahannya di Instagram, Tan memperlihatkan surat edaran yang bertanggal 26 September 2025 dan ditandatangani oleh Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN, Tigor Pangaribuan.

Surat tersebut menjawab berbagai masukan masyarakat terkait penggunaanultra-processed food(UPF) di dalam menu MBG. Dalam surat tersebut, BGN menegaskan bahwa jika produk seperti kue kering, roti, sereal, saus sosis, nugget, dan burger digunakan, maka yang utama adalah produk lokal atau hasil UMKM.

Namun, menurut Tan, keputusan tersebut justru merupakan langkah mundur dalam program MBG.

“Sebuah kemunduran bagi saya, ini adalah sebuah kemunduran MBG karena makanan bergizi gratis justru memiliki bentuk seperti itu,” kata Tan saat diwawancarai.the peoples, Selasa (30/9/2025).

Dapat memberdayakan Koperasi Desa Merah Putih

Tan menekankan bahwa program MBG seharusnya tidak ditujukan untuk memuaskan pemilik modal atau pabrik besar dengan memanfaatkan makanan yang sangat diolah.

Menurutnya, menu MBG seharusnya didasarkan pada bahan makanan segar dari para petani, peternak, nelayan, serta penanam buah lokal, sehingga benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat kecil.

Ia juga menyebutkan kemungkinan kerja sama dengan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) setempat.

“Jika benar-benar ingin, semua proyek nasional Presiden bisa terhubung. Untuk mengaktifkan perekonomian sirkular, kita dapat memperkuat Koperasi Merah Putih dalam pelaksanaan MBG,” kata Tan.

MBG seharusnya menjadi media pembelajaran

Tan menilai, UPF dapat diproduksi untuk keperluan rekreasi, tetapi bukan sebagai pilihan utama dalam MBG.

Menurutnya, MBG seharusnya menjadi acuan pendidikan gizi untuk anak-anak, memperkenalkan makanan khas Nusantara yang bernutrisi seimbang.

“MBG seharusnya menjadi suatu standar yang dapat kita banggakan,” katanya.

Ia menambahkan, melalui MBG, siswa mampu memahami jenis makanan yang sehat dan menceritakannya kembali kepada orang tua mereka. Namun, situasi di lapangan jauh berbeda dengan petunjuk resmi MBG.

“Di dalam panduan MBG secara jelas disebutkan bahwa program ini merupakan sarana pendidikan. Tapi mengapa pelaksanaannya jauh berbeda,” tambah Tan.

Tan tidak menyadari bahwa pengenalan berbagai makanan bergizi melalui program MBG memang memerlukan proses.

Namun, program MBG tetap seharusnya tidak langsung menerima keinginan atau minat setiap anak begitu saja.

Bahaya makanan ultra proses

Tan memperingatkan, makanan yang diproses secara ekstrem biasanya mengandung sedikit gizi tetapi kaya akan gula, garam, lemak, serta penambah rasa.

Jika dikonsumsi secara berlebihan, UPF dapat menjadi penyebab utama obesitas serta penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, tekanan darah tinggi, hingga sindrom metabolik.

“Negara yang berkembang perlu memiliki pemikiran yang maju. Tanah air kita kaya akan bahan pangan asli, diolah menjadi hidangan Nusantara,” tegasnya.

Menurut Tan, terdapat berbagai menu makanan lokal yang dapat dimasukkan ke dalam MBG, cukup diolah dengan kreatif agar anak-anak tidak mudah merasa bosan.

Tugas ahli gizi di lingkungan sekolah Kewajiban profesional nutrisi di institusi pendidikan Fungsi tenaga ahli gizi dalam sistem pendidikan Peran spesialis gizi di sekolah Tanggung jawab ahli kebugaran dan kesehatan di sekolah Jasa ahli makanan di lingkungan belajar Peran pakar nutrisi di sekolah Tugas ahli gizi dalam pengembangan siswa Fungsi tenaga ahli gizi di sekolah Peran profesional bidang gizi di lingkungan pendidikan

Ia juga menyarankan agar ahli gizi tidak hanya memantau dapur, tetapi turut serta masuk ke sekolah guna memberikan pembelajaran langsung.

Namun, ia mengakui bahwa keadaan saat ini membuat hal tersebut sulit dilakukan. Seorang ahli gizi harus memantau hingga 3.000 porsi MBG setiap hari di Pusat Pasokan Pangan dan Gizi (SPPG).

“Jika harus mengawasi 3.000 porsi setiap hari, pasti sudah mati terlebih dahulu di dapur,” katanya.

Secara ideal, kata Tan, seorang ahli gizi cukup dapat mengawasi 300–500 porsi. Jika jumlah menu melebihi 1.000 porsi dalam sehari, maka diperlukan tambahan tenaga ahli.

Semangat untuk memperkuat kantin sekolah

Selanjutnya, Tan berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memperkuat kantin sekolah sebagai SPPG.

“Dari lubuk hati saya, saya tidak sependapat dengan SPPG di luar sekolah. Saya lebih mendukung jika kantin sekolah menjadi SPPG,” ujarnya.

Jika sekolah belum memiliki tempat jajanan, maka dapat diupayakan untuk mendirikannya.

Selain memiliki hubungan yang lebih dekat dengan para siswa, kantin sekolah yang menjadi SPPG juga mampu menyerap tenaga kerja dari wilayah sekitar.

Penjelasan BGN

Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, tidak memberikan jawaban pasti mengenai apakah makanan yang sangat diproses diperbolehkan untuk MBG.

Menurutnya, ultra processed foodsebagai hasil karya intelektual dalam pengolahan makanan agar menjadi steril dan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, makanan yang diolah secara intensif pasti telah melalui proses yang panjang.

“Yang sering menjadi kekhawatiran adalah kandungan gula yang berlebihan,” katanya, Selasa (30/9/2025), dilaporkan darithe peoples.

“Susu UHT adalah salah satu contohnya. Jika yang digunakan adalah yang biasa (tanpa tambahan gula), akan diterima oleh banyak orang,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa UMKM kemungkinan besar belum memiliki teknologi yang sejajar dengan perusahaan besar. Meskipun demikian, terdapat makanan olahan lokal yang bisa bertahan selama beberapa hari dan jika komposisi gizinya ditingkatkan, tetap memiliki nilai yang baik. Contohnya seperti pempek, kue-kue tradisional, abon, dan sebagainya.

Kebijakan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali misi Presiden Prabowo Subianto sejak awal meluncurkan MBG, yaitu membangkitkan UMKM lokal sambil merespons masukan dari DPR, pakar, dan masyarakat luas terkait penggunaan makanan yang telah diproses secara intensif dalam menu program tersebut.

(Sumber: the peoples/Alicia Diahwahyuningtyas | Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *